Puisi Widji Thukul Yang Membangkitkan Semangat Mahasiswa


Wiji Tukhul, seniman dan aktivis. Foto: Deutsche Welle
APA GUNA

Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu

Di mana-mana moncong senjata
berdiri gagah
kongkalikong
Dengan kaum cukong

Di desa-desa rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah

Apa gunanya punya ilmu tinggi
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu


Tidak hanya puisi di atas yang sampai saat ini banyak dikutip bahkan menjadi slogan banyak pergerakan dan aksi unjuk rasa di tanah air.

"Hanya Satu Kata: Lawan!" sangat identik dengan Wiji Tukhul.

Kutipan itu adalah bagian dari larik terakhir sajak Wiji Tukhul berjudul "Peringatan" yang dia tulis di Solo pada 1986. Berikut isi lengkapnya.

PERINGATAN

Jika rakyat pergi
Ketika penguasa pidato
Kita harus hati-hati
Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat sembunyi
Dan berbisik-bisik
Ketika membicarakan masalahnya sendiri
Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat tidak berani mengeluh
Itu artinya sudah gawat
Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!


Wiji Tukhul, meski tidak menamatkan sekolah menengah dikenal karena pemikirannya yang kuat, keberaniannya yang teruji, dan kecerdasannya menyusun kata. Karena puisinya, Tukhul memperoleh beberapa penghargaan.

Wiji Tukhul mendapatkan penghargaan Wertheim Encourage Award (1991) di bidang sastra dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda bersama WS Rendra.

Selain penghargaan itu, Dewan Juri Yap Thiam Hien Award 2002 yang terdiri dari beberapa akademisi bidang sastra, menganugerahkan penghargaan Yap Thiam Hien Award kepada Wiji, setelah menyisihkan sekitar 90-an peserta dan dua nominator.

Sardiyoko sebagai mantan aktivis mengatakan, keteguhan dan keberanian Tukhul bisa menjadi tauladan bagi anak muda Indonesia. Aktivis saat ini, kata dia, perlu mempelajari sejarah secara holistik.

Melalui perjalanan hidup Wiji Tukhul yang telah di-film-kan dalam "Istirahatlah Kata-Kata" pembelajaran sejarah reformasi kini tidak bisa hanya dipusatkan pada 1998.

"Ada masa perjuangan cukup panjang sebelum tahun itu, bahkan di Surabaya. Sejak awal 90-an sampai 1996. Itu masa yang cukup penting dipelajari," ujarnya.

Di Surabaya, Sardiyoko menjadi bagian dari kelompok mahasiswa yang mendirikan kelompok belajar bernama "Kelompok Belajar Mentari" yang lambat laun bertransformasi menjadi Partai Rakyat Demokratik (PRD). 

Sumber; Suarasurabaya.net

Komentar

Postingan Populer